Seorang pemuda belia menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi pada suatu pagi. “Wahai Guru,” ujarnya, “Semalam aku mengkhatamkan Al-Qur’an dalam shalat Malamku.”
Sang Guru Tersenyum. “Bagus Nak,” ujarnya. “Dan nanti
malam tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Al-Qur’an itu.
Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.“
Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada
gurunya. “Ya Ustadz,“ katanya. “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh
dari Al-Qur’an itu.“
“Engkau sungguh telah berbuat baik,“ sang guru menepuk
pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan lagi kali ini hadirkanlah wajah para
shahabat Nabi yang telah mendengar Al-Qur’an itu langsung dari Rasulullah.
Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa
bacaanmu.“
Pagi-pagi sang murid sudah menghadap dan mengadu. “Duh
Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Al-Qur’an yang dapat aku
lafalkan.”
“Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang
guru mengelus kepala si pemuda. “Nanti malam bacalah Al-Qur’an dengan lebih
baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri.
Orang yang kepadanya Al-Qur’an diturunkan.”
Seusai shalat Subuh, sang guru bertanya, “Bagaimana
shalatmu semalam?”
“Aku
hanya mampu membaca satu juz Guru,” kata si pemuda sambil mendesah, “Itu pun
dengan susah payah.”
“Masyaallah,”
kata Sang Guru sambil memeluk sang murid dengan bangga, “Teruskan kebaikan itu,
Nak. Dan nanti malam tolong hadirkan Allah ‘Azza
wa Jalla di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah yang
mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an. Dia selalu hadir
di dekatmu. Jikaupun engkau tak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat
baik-baik. Hadirkan Allah,
karena Dia mendengar dan menjawab apa yang Kau baca!”
Keesokan harinya, ternyata pemuda itu jatuh sakit.
Sang guru pun datang menjenguknya. “Ada apa denganmu?” tanya sang Guru.
Sang pemuda berlinang air mata. “Demi Allah, wahai
Guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Hatta, cuma
Al-Fatihah pun aku tak sanggup aku
menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta‘iin” lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta.
Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah”, tapi jauh di dalam
hatiku aku tahu bahwa aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak
mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu
menyelesaikannya.”
“Nak ...,” kata sang guru sambil berlinang air mata,
“Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sunggun aku ini muridmu. Ajarkan padaku
apa yang telah engkau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku
sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini.”
Dari Ibn Al-‘Arabi dalam Futuhat Al-Makkiyah.