Siang ini angin bertiup lembut, membuat kerudungku sedikit
berkibar dan menerpa wajahku yang penuh peluh. Segar sekali! Aku
menganyunkan kakiku menuju perpustakaan. Perpustakaan selalu bersedia
menjadi tempat yang paling nyaman seantero sekolah. Disana dingin dan
baunya harum. Juga belasan rak buku yang menyuguhkan petualangan ke
dunia lain.
Aku menaruh sepatuku dirak sepatu. Tak begitu banyak
sepatu disana. Berarti perpustakaan sepi. Aku masuk dan langsung
disambut baunya yang khas, bau kapur barus. Menyenangkan sekali. Aku
langsung menuju meja komputer dan mulai membuka google. Mencari
informasi mengenai club pecinta alam. Ketemu! Aku merinding melihat
foto-foto mereka di alam bebas. Luar biasa! Foto-foto itu seolah
bercerita betapa menyenangkannya melangkahkan kaki diatas rumput yang
berembun di lereng gunung, atau betapa sejuknya udara pegunungan. Aku
juga menemukan banyak artikel yang ditulis oleh para pecinta alam. Juga
berpuluh-puluh Taman Nasional, penangkaran binatang langka dan
tempat-tempat yang menawarkan petualangan. Ternyata masih banyak yang
peduli dengan alam yang sakit ini. Mereka belajar untuk menghargai
alam. Dan aku salah satu bagian dari mereka. Bangga sekali rasanya
menjadi bagian dari mereka.
Menjadi anggota pecinta alam adalah mimpi kecilku. Mimpi
yang sederhana. Aku tak menyangka Allah akan mengabulkan dengan cara
yang unik luar biasa. Dan seharusnya aku bersyukur atas apa yang Allah
berikan selama ini. Tiba-tiba kakiku nyeri. Membuatku ingat kejadian 1
bulan yang lalu. Aku bukanlah anak perempuan yang anteng dan suka
dengan semua hal-hal yang dianggap ‘manis’ atau imut dan lucu. Aku lebih
suka hal-hal yang mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang, tapi aku
lebih suka menyebutnya unik, bukan aneh. Aku suka ngebut. Entah mengapa
hal-hal disekelilingku seolah mendukungku untuk memacu sepeda motorku
sekencang-kencangnya. Seolah angin mengajakku mengadu kecepatan, dan
aku mengiyakan. Jadi pagi itu aku memacu sepeda motorku
sekencang-kencangnya. Aku tidak mau kalah dengan waktu yang juga tak mau
melorotkan kecepatannya. Intinya aku kesiangan dan nggak mau terlambat
lagi. Aku tak mau menuliskan namaku dibuku ‘siswa-siswa yang
terlambat’ untuk ke enam kalinya. Lima itu cukup.
Aku kesetanan. Perasaanku bercampur aduk antara cemas dan
gemas. Jalanan seolah-seolah tak ada habisnya. Panjang sekali. Yang
ada dipikiranku adalah sampai disekolah tepat waktu. Bahkan aku tak
mengindahkan klakson dari kendaraan lain. Aku kurang perhitungan saat
mendahului motor. Yang aku ingat adalah motorku oleng dan kurasa ada
sesuatu yang berat dan keras menimpa kakiku. Aku mendengar suara decitan
rem, jeritan, klakson dan keributan. Rasanya seperti melayang lalu
tiba-tiba dijatuhkan ke bumi. Sakit sekali. Aku sadar ada yang tidak
beres. Tapi aku tak sadar bahwa aku berlumuran darah. Lalu sesorang
telah mematikan lampunya, karena semua menjadi gelap. Entah apa yang
terjadi kemudian, namun saat aku bangun, aku ada diruangan putih dan
silau. Ada selang ditanganku, oke, itu infus. Ada banyak perban di
tangan dan wajahku. Ada ibuku yang bermata sembab duduk disamping tempat
tidurku. Dan badanku rasanya remuk redam, nyeri disana-sini. Tapi ada
sesuatu yang hilang. Kakiku hanya satu sentengah. Kaki kanan, dari
lutut ke bawah hilang. Rasanya seperti ditampar saat aku sadar bahwa
aku catat! Aku tak punya kaki yang utuh. Dadaku naik turun. Aku sangat
berharap itu adalah mimpi, dan aku akan bangun, lengkap dengan 2 kaki
yang utuh. Tapi kenyataannya tidak sejalan dengan harapanku. Aku CATAT.
Aku menjadi seperti orang bodoh selama beberapa setelah
itu. Nafsu makanku menguap. Tatapanku kosong. Karena aku merasa bahwa
hidupku sudah rusak. Dan aku berharap seharusnya aku mati saja daripada
cacat. Air mataku sudah habis, aku tak bisa menangis lagi. Saat
menyalakan televisi dan melihat anak-anak yang berlarian, rasanya sedih
sekali menghadapi kenyataan bahwa aku tak bisa berlari lagi. Tak bisa
mendaki gunung atau menyusuri gua lagi. Tak bisa membayangkan betapa
menyakitkannya ketika melihat teman-temanku naik turun dengan tali.
Rasanya aku ingin bunuh diri.
Berhari-hari aku merenung. Apa jadinya hidupku nanti.
Sampai tiba saatnya aku kembali bersekolah. Kembali bertemu
teman-temanku. Meskipun mereka memberi semangat dan menerima keadaanku,
aku masih saja kepikiran untuk bunuh diri. Aku ingat sekali, waktu itu
adalah hari Jum’at. Aku mengikuti mentoring pertamaku di mushola. Di
situ, mentorku banyak bercerita mengenai islam. Mengenai sahabat para
nabi yang mendapat cobaan yang jauh lebih berat dariku. Juga mengenai
surga dan neraka. Sampai suatu hari, mentorku mengajak kelompok
mentoringku ke panti, dimana orang-orang sepertiku berkumpul. Aku
sangat kaget. Rasanya seperti kesetrum saat aku menyadari bahwa aku
bukanlah satu-satunya orang yang berkekurangan fisik. Allah memberiku
rezeki yang cukup untuk berobat. Dan mereka tidak. Tapi aku melihat
betapa semangat mereka menyala-nyala. Mereka menyambut kami dengan
ramah. Mentorku mengajakku untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajak
mereka mengobrol. Saat aku mengajak mereka berbicara, aku melihat
semangat dimata mereka. Seperti tak ada beban atau rasa sesal atas
keadaan mereka. Ada seorang anak kecil tuna netra. Wajahnya manis
sekali. Dia ceria dan banyak bercerita kepadaku. Setelah acara selesai,
semua anak panti kembali masuk. Aku memperhatikan anak kecil tadi,
berkali-kali itu menabrak kursi saat berjalan ke pintu tapi ia tetap
berdiri digandeng temannya yang tuna rungu. Aku malu sekali. Karena
selama ini aku hanya sibuk dengan pikiran negatifku. Aku tidak
memperhatikan sekelilingku. Aku tidak memperhatikan bahwa banyak teman
yang masih peduli padaku, aku masih punya orangtua yang utuh. Aku juga
diberi rezeki yang cukup oleh Allah. Tapi aku tidak mensyukurinya.
Mataku buta oleh satu cobaan. Saat pintu yang ingin kumasuki tertutup,
aku tidak melihat pintu-pintu lain yang terbuka.
Disitulah perubahan dimulai. Mengikuti mentoring membawa
pengaruh besar bagiku. Sejak saat itu aku aktif menulis. Dan seringkali
tulisanku dimuat dikoran. Aku juga mengikuti lomba menulis karya
ilmiah remaja tingkat nasional. Berbekal ilmu dari club pecinta alam,
dan semangat yang ditorehkan oleh teman-teman dipanti itu, aku menulis
dan terus menulis. Walaupun aku tak dapat melakukan banyak hal dengan
fisikku, tapi aku berniat membuat perubahan dengan tulisan-tulisanku.
Aku sangat berterima kasih kepada mentorku dan teman-teman mentoringku
atas semangat yang mereka berikan. Sekarang aku mulai tahu apa arti
hidup.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Aku segera memakai
kruk dan keluar dari perpustakaan. Memakai sebelah sepatu yang tadi
kuletakkan dirak. Cacat tidak akan menghalangiku untuk meraih
cita-citaku. Cacat tidak akan membuat hidupku berakhir tragis dengan
bunuh diri. Cacat akan membuatku menjadi perempuan tegar.