Bermula Dari Mentoring

Posted by Keluarga Muslim Alumni Padmanaba on 17:49 with

     Siang ini angin bertiup lembut, membuat kerudungku sedikit berkibar dan menerpa wajahku yang penuh peluh. Segar sekali! Aku menganyunkan kakiku menuju perpustakaan. Perpustakaan selalu bersedia menjadi tempat yang paling nyaman seantero sekolah. Disana dingin dan baunya harum. Juga belasan rak buku yang menyuguhkan petualangan ke dunia lain.
            Aku menaruh sepatuku dirak sepatu. Tak begitu banyak sepatu disana. Berarti perpustakaan sepi. Aku masuk dan langsung disambut baunya yang khas, bau kapur barus. Menyenangkan sekali. Aku langsung menuju meja komputer dan mulai membuka google. Mencari informasi mengenai club pecinta alam. Ketemu! Aku merinding melihat foto-foto mereka di alam bebas. Luar biasa! Foto-foto itu seolah bercerita betapa menyenangkannya melangkahkan kaki diatas rumput yang berembun di lereng gunung, atau betapa sejuknya udara pegunungan. Aku juga menemukan banyak artikel yang ditulis oleh para pecinta alam. Juga berpuluh-puluh Taman Nasional, penangkaran binatang langka  dan tempat-tempat yang menawarkan petualangan. Ternyata masih banyak yang peduli dengan alam yang sakit ini. Mereka belajar untuk menghargai alam. Dan aku salah satu bagian dari mereka. Bangga sekali rasanya  menjadi bagian dari mereka.
            Menjadi anggota pecinta alam adalah mimpi kecilku. Mimpi yang sederhana. Aku tak menyangka Allah akan mengabulkan dengan cara yang unik luar biasa. Dan seharusnya aku bersyukur atas apa yang Allah berikan selama ini. Tiba-tiba kakiku nyeri. Membuatku ingat kejadian 1 bulan yang lalu. Aku bukanlah anak perempuan  yang anteng dan suka dengan semua hal-hal yang dianggap ‘manis’ atau imut dan lucu. Aku lebih suka hal-hal yang mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang, tapi aku lebih suka menyebutnya unik, bukan aneh. Aku suka ngebut. Entah mengapa hal-hal disekelilingku seolah mendukungku untuk memacu sepeda motorku sekencang-kencangnya. Seolah angin mengajakku mengadu kecepatan, dan aku mengiyakan. Jadi pagi itu aku memacu sepeda motorku sekencang-kencangnya. Aku tidak mau kalah dengan waktu yang juga tak mau melorotkan kecepatannya. Intinya aku kesiangan dan nggak mau terlambat lagi. Aku tak mau menuliskan namaku dibuku ‘siswa-siswa yang terlambat’ untuk ke enam kalinya. Lima itu cukup.
            Aku kesetanan. Perasaanku bercampur aduk antara cemas dan gemas. Jalanan seolah-seolah tak ada habisnya. Panjang sekali. Yang ada dipikiranku adalah sampai disekolah tepat waktu. Bahkan aku tak mengindahkan klakson dari kendaraan lain. Aku kurang perhitungan saat mendahului motor. Yang aku ingat adalah motorku oleng dan kurasa ada sesuatu yang berat dan keras menimpa kakiku. Aku mendengar suara decitan rem, jeritan, klakson dan keributan. Rasanya seperti melayang lalu tiba-tiba dijatuhkan ke bumi. Sakit sekali. Aku sadar ada yang tidak beres. Tapi aku tak sadar bahwa aku berlumuran darah. Lalu sesorang telah mematikan lampunya, karena semua menjadi gelap.  Entah apa yang terjadi kemudian, namun saat aku bangun, aku ada diruangan putih dan silau. Ada selang ditanganku, oke, itu infus. Ada banyak perban di tangan dan wajahku. Ada ibuku yang bermata sembab duduk disamping tempat tidurku. Dan badanku rasanya remuk redam, nyeri disana-sini. Tapi ada sesuatu yang hilang. Kakiku hanya satu sentengah. Kaki kanan, dari lutut ke bawah hilang. Rasanya seperti ditampar saat aku sadar bahwa aku catat! Aku tak punya kaki yang utuh. Dadaku naik turun. Aku sangat berharap itu adalah mimpi, dan aku akan bangun, lengkap dengan 2 kaki yang utuh. Tapi kenyataannya tidak sejalan dengan harapanku. Aku CATAT.
            Aku menjadi seperti orang bodoh selama beberapa setelah itu. Nafsu makanku menguap. Tatapanku kosong. Karena aku merasa bahwa hidupku sudah rusak. Dan aku berharap seharusnya aku mati saja daripada cacat. Air mataku sudah habis, aku tak bisa menangis lagi. Saat menyalakan televisi dan melihat anak-anak yang berlarian, rasanya sedih sekali menghadapi kenyataan bahwa aku tak bisa berlari lagi. Tak bisa mendaki gunung atau menyusuri gua lagi. Tak bisa membayangkan betapa menyakitkannya ketika melihat teman-temanku naik turun dengan tali. Rasanya aku ingin bunuh diri.
            Berhari-hari aku merenung. Apa jadinya hidupku nanti. Sampai tiba saatnya aku kembali bersekolah. Kembali bertemu teman-temanku. Meskipun mereka memberi semangat dan menerima keadaanku, aku masih saja kepikiran untuk bunuh diri. Aku ingat sekali, waktu itu adalah hari Jum’at. Aku mengikuti mentoring pertamaku di mushola. Di situ, mentorku banyak bercerita mengenai islam. Mengenai sahabat para nabi yang mendapat cobaan yang jauh lebih berat dariku. Juga mengenai surga dan neraka. Sampai suatu hari, mentorku mengajak kelompok mentoringku ke panti, dimana orang-orang sepertiku berkumpul. Aku sangat kaget. Rasanya seperti kesetrum saat aku menyadari bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang berkekurangan fisik. Allah memberiku rezeki yang cukup untuk berobat. Dan mereka tidak. Tapi aku melihat betapa semangat mereka menyala-nyala. Mereka menyambut kami dengan ramah. Mentorku mengajakku untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajak mereka mengobrol. Saat aku mengajak mereka berbicara, aku melihat semangat dimata mereka. Seperti tak ada beban atau rasa sesal atas keadaan mereka. Ada seorang anak kecil tuna netra. Wajahnya manis sekali. Dia ceria dan banyak bercerita kepadaku. Setelah acara selesai, semua anak panti kembali masuk. Aku memperhatikan anak kecil tadi, berkali-kali itu menabrak kursi saat berjalan ke pintu tapi ia tetap berdiri digandeng temannya yang tuna rungu. Aku malu sekali. Karena selama ini aku hanya sibuk dengan pikiran negatifku. Aku tidak memperhatikan sekelilingku. Aku tidak memperhatikan bahwa banyak teman yang masih peduli padaku, aku masih punya orangtua yang utuh. Aku juga diberi rezeki yang cukup oleh Allah. Tapi aku tidak mensyukurinya. Mataku buta oleh satu cobaan. Saat pintu yang ingin kumasuki tertutup, aku tidak melihat pintu-pintu lain yang terbuka.
            Disitulah perubahan dimulai. Mengikuti mentoring membawa pengaruh besar bagiku. Sejak saat itu aku aktif menulis. Dan seringkali tulisanku dimuat dikoran. Aku juga mengikuti lomba menulis karya ilmiah remaja tingkat nasional. Berbekal ilmu dari club pecinta alam, dan semangat yang ditorehkan oleh teman-teman dipanti itu, aku menulis dan terus menulis. Walaupun aku tak dapat melakukan banyak hal dengan fisikku, tapi aku berniat membuat perubahan dengan tulisan-tulisanku. Aku sangat berterima kasih kepada mentorku  dan teman-teman mentoringku atas semangat yang mereka berikan. Sekarang aku mulai tahu apa arti hidup.
            Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Aku segera memakai kruk dan keluar dari perpustakaan. Memakai sebelah sepatu yang tadi kuletakkan dirak. Cacat tidak akan menghalangiku untuk meraih cita-citaku. Cacat tidak akan membuat hidupku berakhir tragis dengan bunuh diri. Cacat akan membuatku menjadi perempuan tegar.